Sembilan Belas

by - Januari 09, 2021

 

    Pasti ada masa dimana akan senang atau sedih, mau di atas mau di bawah. Tak kenal umur, dari sejak mulai bisa jalan sampai mau berdiri saja tak sanggup. Kalau kata orang, semua orang pasti punya "momen"nya sendiri. Dari hal paling sederhana misal, gowes pagi rame-rame tapi pulang-pulang lutut berdarah. Sakit? Iya. Sedih? Iya, tapi besoknya masih gowes lagi. Lagi mainan nih, eh berantem, bilangnya "ra bolo" tapi besoknya main masak-masakan bareng. Pulang sekolah, mandi, eskul, les, capek. Iya capek, tapi enjoy! Mau main, mau nilai matematika 40, enjoy! Apa sih yang mau dipikir? Enjoy aja! Mau main game seharian, mau main sampe lutut lecet semua, yaudah! Apa sih yang mau disesalin sama anak sepuluh tahun?

    Masuk SMP haha-hihi, masuk SMA lala-lili. Kepala sepuluh emang masa nakal-nakalnya, kan? Nilai jelek, yaudah remidi. Kalah lomba, yaudah coba lagi. Main sana-sini, asikin! Sesederhana itu, kalau seneng ya seneng, kalau sedih ya cari seneng lagi. Tanggung jawab pasti ada, tapi siapa yang mau mikir sampai gemeter semua badan. Lagian tanggung jawab ke siapa sih? Sepenting itu? Kan masih banyak yang mau bantu! Pundakmu masih disangga orang lain juga kok! Iya, seenak itu kilas balik hidup. Sepuluh tahun lalu, mau apa-apa aja oke, mau mutusin apa-apa oke. Bukan tentang keras kepala atau seenaknya, tapi memang sewajarnya masa itu dibuat masa coba-coba. Coba-coba cari mana yang bikin senang mana yang bikin sedih, hehe! Lalu mampus! 

    Akhir sembilan belas mulai terpikir, 'aku seneng, aku sedih, ada artinya kah?' 'aku hidup buat apa, buat siapa?' Katanya harus mandiri, apa-apa sendiri. Mau kesana, konsekuensinya ini. Mau kesini, konsekuensinya itu. Hidup sendiri tapi langkahmu serasa domino, kalau jatuh, langkah selanjutnya juga jatuh. Katanya hidup sendiri, tapi semua pilihan berpengaruh ke sekelilingmu. Bebannya di kamu, ekspektasi sekelilingmu menghujam pundakmu. 

        Tersadar akhirnya bahwa hidup bukan hanya tentang masa sekarang. Semua keputusan, semua pilihan, layaknya domino yang siap berjatuhan. Tak cukup hanya berkhayal tentang esok hari. Dua tahun lagi, 10 tahun lagi semuanya harus sudah di genggaman. Ekspektasinya begitu, tapi apakah sanggup? Pun apakah sanggup juga harus menahan domino yang akan jatuh? Sanggup tak sanggup, itulah yang harus dilakukan. Lalu, pelajari kembali mengapa kamu terjatuh dan bagaimana agar tak terjatuh lagi. Iya, bebanmu sudah sebesar itu. Mau jadi apa, mau pergi kemana, mau menangis dimana, sudah siap meninggalkan ibumu? atau bahkan ditinggal ibumu?  Hidup sudah bukan tentang  mencari kesenangan lalu lupakan kesedihan dan gegabah ingin memiliki semuanya. Saat ini sudah waktunya mencari apa makna dan pelajaran dari senang dan sedih yang telah dilalui. 


"To life is to suffer, to survive is to find some meaning in the suffering." Nietzche. 


    Pesan untuk diriku sendiri dan kamu, kepala dua sudah bukan waktunya coba-coba. Semua pilihan tak boleh hanya sekedar diraba. Keputusanmu tidak berpengaruh ke dirimu saja, sekililingmu menaruh beban dipundakmu. Tak apa jika memang sembilan belas tahunmu masih asal-asalan, tapi dua puluh sudah menuntut untuk berkembang. Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain, kan? Atau paling tidak jangan buat dirimu kerepotan dengan ulahmu sendiri!









You May Also Like

3 komentar